BANDUNG DICIPTAKAN SAAT TUHAN TERSENYUM
(Bagian 5)
Kabupaten Bandung
rexnewsplus.com – Sejak penahanan terhadap Dipati Rangga Gede, bupati wedana yang mengawasi daerah Priangan adalah Dipati Ukur (1625-1629), yang berasal dari Tatar Ukur VOC pada tahun 1629 sudah mencatat nama Sumedang dan Ukur sebagai bagian dari Daerah Priangan dan tahun 1640-an menyebut Daerah Ukur sebagai Nagorij Bandong dan kemudian West Oedjoeng Beroeng, sedangkan masyarakat Sunda menyebutnya Tatar Ukur.
Pada tahun 1628, Sultan Agung memerintahkan agar Dipati Ukur bersama-sama dengan pasukan Mataram menyerang VOC di Batavia. Kurangnya kerjasama menyebabkan serangan itu mengalami kegagalan. Dalam serangan kedua (1629), Dipati Ukur menolak ikut serta. Kegagalan serangan pertama ditambah keengganan Dipati Ukur turut serta dalam serangan kedua membuat Mataram menilai tindakan tersebut patut diberi hukuman. Dipati Ukur dipanggil ke Mataram, namun dia tidak memenuhi panggilan tersebut. Bersama pasukannya, dia tetap tingal di Ibu Kota Ukur yang terletak di Gunung Lumbung (sekarang Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung) sambil mengantisipasi kedatangan pasukan Mataram. Tindakan ini dianggap Mataram sebagai pemberontakan yang harus ditumpas. Setelah terjadi beberapa kali pertempuran, pada tahun 1632 Dipati Ukur tertangkap di Gunung Lumbung dan akhirnya dihukum pancung di Mataram.
Pada saat Sumedang dipimpin oleh putera Rangga Gede yang bernama Raden Bagus Weruh atau sering disebut juga Pangeran Dipati Rangga Gempol II (1633-1656), Mataram mengadakan reorganisasi untuk menata kembali wilayah Priangan. Hal ini tertuang dalam Serat Piyagem (Surat Keputusan) Sultan Agung pada tanggal 9 Muharam tahun Alip (bertepatan dengan tanggal 20 April 1641), yang berisi pembentukan tiga Kabupaten baru berikut pengangkatan Bupatinya. Dengan demikian, di bekas Kerajaan Sumedang Larang terdapat empat Ktermasuk Bupatinya, yaitu Sumedang (Rangga Gempol II), Sukapura (Tumenggung Wiradadaha), Bandung (Tumenggung Wiraangunangun) dan Parakanmuncang (Tumenggung Tanubaya). Berdasarkan keputusan tersebut, tanggal 20 April diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Bandung.
Rangga Gempol II merasa kecewa atas kebijakan Sultan Agung tersebut, sebab wilayah kekuasaan Sumedang menjadi bekurang. Kekecewaan ini makin bertambah ketika Sultan Agung digantikan oleh puteranya, Sunan Amangkurat I. Amangkurat I mengeluarkan dua kebijakan penting terkait wilayah Priangan. Pertama, Jabatan Bupati Wedana dihapuskan. Kedua, wilayah Mataram Barat dibagi menjadi 12 ajeg (setara dengan kabupaten). Dengan begitu, kedudukan Bupati Sumedang menjadi setara dengan bupati-bupati lain, dan wilayah kekuasaan Sumedang menjadi lebih kecil lagi. Sebagai protes atas kebijakan tersebut, Rangga Gempol mengundurkan diri sebagai bupati, dan sebagai penggantinya ditunjuk puteranya, Rangga Gempol III yang bergelar Pangeran Panembahan (1656-1705).
Tumenggung Wiraangunangun memerintah di Kabupaten Bandung antara 1641-1681. Wilayah pemerintahannya meliputi beberapa wilayah antara lain Tatar Ukur, termasuk daerah Timbanganten, Kahuripan, Sagaraherang, dan sebagian Tanahmedang. Hingga berakhirnya kekuasaan VOC akhir tahun 1779, Kabupaten Bandung beribu kota di Krapyak, yang sekarang bernama Citeureup, suatu wilayah di dekat Sungai Citarum, di sekitar Dayeuh Kolot. Selama itu Kabupaten Bandung diperintah secara turun-temurun oleh enam orang Bupati.
Setelah Sultan Agung meninggal dunia pada tahun 1645, Mataram berangsur-angsur menjadi lemah akibat kemelut internal yang berlarut-larut dalam kerajaan dan serangan dari luar. VOC campur-tangan dalam kemelut ini sehingga sedikit demi sedikit wilayah Mataram jatuh ke dalam kekuasaan VOC. VOC memperoleh wilayah Priangan Barat dari Mataram (Sultan Amangkurat II) dalam Perjanjian 19-20 Oktober 1677 sebagai imbalan atas bantuan VOC memadamkan pemberontakan Trunojoyo. Sedangkan wilayah Priangan Timur dan Cirebon diserahkan Mataram kepada VOC dalam Perjanjian 5 Oktober 1705 sebagai imbalan dari Pangeran Puger (Pakubuwono I) karena membantu merebut tahta Mataram dari Sunan Mas (Amangkurat III).
Di bawah kekuasaan VOC, Bupati Bandung dan bupati-bupati lainnya di Priangan tetap berkedudukan sebagai penguasa tertinggi di Kabupaten, tanpa ikatan birokrasi dengan VOC. Sistem pemerintahan kabupaten tidak mengalami perubahan, namun VOC menuntut agar para bupati mengakui kekuasaan VOC, dengan jaminan menjual hasil-hasil bumi tertentu secara eksklusif kepada VOC. Sebagai pengawas (opzigter) daerah Cirebon-Priangan, VOC mengangkat Pangeran Arya Cirebon. (Jelita/rn+)
Artikel diambil dari wikipedia
Redaksi menerima sumbangan tulisan, berita dan artikel yang berhubungan dengan pariwisata. Apabila memenuhi syarat, setelah melalui proses editing seperlunya akan segera ditayangkan. Materi dan photo-photo (max 5 gambar) bisa di kirimkan melalui nomor WA Redaksi
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!