Mengupas Asal-usul di Balik Julukan Cimahi ‘Kota Militer’

Kendaraan tempur yang hiasi taman dan sudut-sudut Kota Cimahi ( Whisnu Pradana / detikJabar/ foto istimewa )

rexnewsplus.com – Cimahi – Meski hanya kota kecil di sebelah barat Kota Bandung, Cimahi memegang peranan penting dalam perjalanan sejarah kolonialisme Belanda, pendudukan Jepang, hingga era perang kemerdekaan.

Sejak zaman kolonialisme, Cimahi difungsikan menjadi tangsi militer Belanda. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya bangunan bersejarah dengan gaya arsitektur Belanda seperti indische empire stijl.

Gaya arsitektur itu dipengaruhi oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-36, Herman Willem Daendels yang juga membangun Jalan Raya Pos yang juga membelah Kota Cimahi. Daendels juga membuat pos penjagaan garda terdepan yang kini berubah menjadi kawasan Alun-alun Cimahi.

Bangunan Toko Buku yang Dulu Merupakan Pos Penjagaan Garnisun ( Whisnu Pradana / foto istimewa )

Bangunan bersejarah yang masih berdiri kokoh meski sudah berusia ratusan tahun, kini difungsikan sebagai pusat pendidikan militer. Sebagian ada yang masih berbentuk asli tanpa ada perubahan berarti, sebagian lagi sama sekali berubah total hingga tak ada lagi ciri khasnya.

Pegiat sejarah Cimahi sekaligus anggota Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga (Disbudparpora) Cimahi, Mahmud Mubarok mengatakan sejak zaman Hindia Belanda, Cimahi sudah digagas menjadi Garnisun.

“Sejak zaman Hindia Belanda Cimahi sudah dikenal sebagai kota militer. Jadi ketika Cimahi ditetapkan sebagai garnisun itu ada sekitar 4 batalyon atau sekitar 4 ribu sampai 5 ribu tentara yang kemudian tinggal di Cimahi,” ungkap Mahmud kepada detikJabar.

“Dari situ juga, kemudian menjadikan Cimahi sebagai kota dengan jumlah tentara terbesar di Hindia Belanda (sebutan Indonesia zaman dulu),” lanjut Mahmud.

Ketenaran Cimahi sebagai basis militer Belanda, berlanjut sampai Indonesia merebut kemerdekaan dari negara penjajah dan bertahan hingga saat ini. Bangunan-bangunan pusat pendidikan militer dan markas TNI di Cimahi mayoritas menggunakan bangunan peninggalan Belanda.

Kendaraan tempur yang hiasi taman dan sudut-sudut Kota Cimahi ( Whisnu Pradana / foto istiewa )

“Peninggalan Belanda itu dilanjutkan oleh TNI. Jadi markas-markas tentara Belanda terdahulu digunakan sebagai markas TNI, sehingga kita tahu sekarang ada mungkin 12 sampai 13 pusdik dan kesatuan militer ada,” kata Mahmud.

Dari situ juga, tak ada yang menyangsikan sebutan Cimahi sebagai ‘kota hijau’ alias kota militer. Setiap sudut kota terutama di kawasan Baros dan pusat Kota Cimahi bertebaran bangunan milik TNI.

“Karena banyak markas militer itu, muncul istilah kota hijau. Hijau dalam artian bukan hijau oleh pepohonan tetapi oleh banyaknya tentara berseragam hijau,” ucap Mahmud.

Alasan Cimahi Jadi Garnisun

Segala sesuatu yang dibangun oleh Belanda saat masa koloni di tanah air, tentunya tidak asal-asalan. Semua melalui perencanaan matang. Pun demikian kala Cimahi dipilih sebagai Garnisun. Garnisun adalah sebutan untuk sekelompok pasukan yang bertempat di suatu lokasi, dan bertujuan untuk mengamankannya.

Pemilihan lokasi ini karena saat menginvasi berbagai daerah di tanah air, tentara Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL) jatuh sakit dan dalam keadaan lemah hingga harus dievakuasi ke daerah yang lebih sehat. Saat itulah dipilih Cimahi yang memiliki hawa sejuk, luas, dan sudah memiliki jalan kereta api.

Mahmud mengatakan pihak Belanda melakukan serangkaian survei sebelum memutuskan Cimahi menjadi basis kamp militer bagi tentara mereka selama invasi berlangsung. Namun yang paling utama pertimbangan iklim dan keberadaan jalur keretanya.

Saat itu Belanda sampai membentuk sebuah komisi khusus untuk meneliti kondisi Cimahi dan daerah lain yang jadi kandidat Garnisun, seperti Cianjur, Sukabumi, Padalarang, Bandung, dan Garut.

“Jadi ketika memilihi sebuah daerah sebuah kota untuk dijadikan garnisun itu tidak sembarangan. Jadi dari sisi geografis, iklimnya, dari segi airnya, dan segala macam faktor itu kebetulan Cimahi yang memenuhi syarat,” ucap Mahmud.

Mahmud mengatakan setelah suara bulat dan Cimahi terpilih sebagai kandidat kuat, Belanda lantas membuat desain pembangunan Garnisun dan bangunan penunjang operasi militer di Hindia-Belanda.

“Dibuat juga maketnya untuk menentukan penempatan markas tentara dimana, kemudian tempat pelatihan menembak dimana, tempat laundry dimana, dan segala macam amunisi itu dimana. Semua sudah dirancang sedemikan rupa oleh Belanda. Waktu itu Belanda membangun semuanya dari tanah kosong sampai jadi bangunan, jadi tidak menempati bangunan yang sudah berdiri,” tutur Mahmud.

Saat ini kawasan di Cimahi yang paling terasa nuansa militernya ialah sepanjang Jalan Gatot Subroto atau biasa dikenal dengan kawasan Rajawali, merujuk pada lapangan sepakbola Rajawali.

Di situ berderet markas-markas TNI serta pusat pendidikan militer. Di antaranya Pusat Pendidikan Pengetahuan Militer Umum (Pusdik Pengmilum), Sekolah Pelatih Infanteri Pusat Pendidikan Infanteri (Pusdikif), Pusat Pendidikan Pembekalan Angkutan (Pusdikbekang), Pusat Pendidikan Perhubungan (Pusdikhub), Batalyon Artileri Medan (Yonarmed) 4/155, dan masih banyak bangunan lainnya.

“Sebetulnya yang paling banyak itukan sepanjang Jalan Gatot Subroto, dari mulai Kodim sampai batas Jalan Baros ke arah Pasar Baros, nah itu sebetulnya batas Garnisun. Diluar dari itu memang bukan Garnisun,” kata Mahmud. ( Alya / Whisnu Pradana / rn+ )

Artikel ini sudah tayang di detikJabar Minggu, 04 Desember 2022  dengan Judul ‘’ Mengupas Asal-usul di Balik Julukan Cimahi ‘Kota Militer’’’

Redaksi menerima sumbangan tulisan, berita dan artikel yang berhubungan dengan pariwisata. Apabila memenuhi syarat, setelah melalui proses editing seperlunya akan segera di tayangkan. Materi dan photo – photo ( max 5 gambar) bisa di kirimkan melalui nomor WA Redaksi  (+62) 87729436180

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *