AKU WONG JAWA Kisah Haru Imigran Jawa dari Soloraya ke Suriname (1890–1954)

para pekerja asal Indonesia yanga kan diberangkatkan ke Suriname (foto ISTIMEWA)

Saat Laut Jadi Takdir

Bayangkan, di tanah Jawa akhir abad ke-19. Letusan gunung, hujan abu, sawah yang retak, dan langit muram oleh kemiskinan. Di tengah penderitaan itu, datang kabar tentang negeri jauh bernama Suriname, koloni Belanda di seberang lautan. Di sana, katanya, ada pekerjaan, ada gaji, dan ada janji bisa pulang setelah lima tahun.

Sebagian percaya, sebagian ragu. Tapi bagi banyak warga miskin di Klaten, Sukoharjo, dan Karanganyar, janji itu terdengar seperti secercah harapan. Mereka menandatangani kontrak, tak tahu bahwa keputusan itu akan mengubah hidup ribuan orang Jawa untuk selamanya.

Keberangkatan, 21 Mei 1890

Tanggal itu tercatat dalam sejarah sebagai hari dimulainya gelombang pertama pengiriman tenaga kontrak Jawa ke Suriname. Sebanyak 94 orang, terdiri dari 61 pria, 31 wanita, dan 2 anak-anak, diberangkatkan dari Batavia (Jakarta) menaiki kapal SS Koningin Emma.

Mereka melambaikan tangan pada pelabuhan yang perlahan menjauh, menatap pulau kelahiran yang tenggelam di balik kabut laut. Beberapa membawa sejumput tanah Jawa dalam kantong kecil, sebagai penangkal rindu.

Perjalanan panjang itu melewati Samudra Hindia, singgah di Belanda, lalu menyeberangi Samudra Atlantik. Selama berbulan-bulan, ombak besar, kelaparan, dan penyakit laut menjadi teman mereka. Akhirnya, pada 9 Agustus 1890, mereka tiba di Paramaribo, Suriname. Hari itu kini diperingati oleh keturunan mereka sebagai Hari Kedatangan Orang Jawa.

Dunia Baru di Tanah Koloni

Suriname bukanlah negeri yang ramah. Hutan lebat, udara lembab, dan bahasa asing membuat mereka serasa di dunia lain. Sebelum orang Jawa datang, tenaga kerja di Suriname diisi oleh:

Orang Creole dari Afrika yang dulunya dijadikan budak sejak abad ke-16,

Orang Tionghoa sejak tahun 1853,

Orang Hindustan dari India sejak 1873.

Setelah perbudakan dihapus pada 1 Juli 1863, banyak orang Afrika melarikan diri dari perkebunan. Belanda pun mencari pengganti, dan menemukan orang Jawa: patuh, pekerja keras, dan “murah”.

Kerja dan Derita

Para pekerja dikontrak lima tahun. Upah laki-laki hanya 60 sen per hari, perempuan 40 sen, dengan waktu kerja 7 jam di ladang dan 10 jam di pabrik, enam hari seminggu. Mereka menanam tebu, kopi, dan kakao, atau bekerja di tambang bauksit.

Sesuai perjanjian, setelah kontrak habis mereka berhak pulang ke tanah air dengan biaya pemerintah Belanda. Tapi itu hanya janji di atas kertas. Banyak yang tak pernah mendapat tiket pulang. Sebagian lagi bahkan buta huruf, tak tahu bagaimana menuntut haknya.

Di malam hari, setelah kerja keras di bawah terik matahari, mereka duduk di bawah cahaya lampu minyak, meniup seruling bambu, menyanyikan tembang Jawa. Itu cara mereka bertahan dari rindu.

Gelombang Kedua dan Tragedi di Laut

Empat tahun kemudian, 16 Juni 1894, gelombang kedua diberangkatkan dengan kapal SS Voorwarts. Kali ini jumlahnya 614 orang, jauh melebihi kapasitas kapal. Kondisi kapal memprihatinkan, sesak, pengap, minim makanan. Banyak yang jatuh sakit di tengah lautan.

Ketika kapal tiba di Suriname, 64 orang meninggal dunia, dan 85 lainnya dirawat di rumah sakit Paramaribo. Tak ada upacara, tak ada belasungkawa dari pemerintah kolonial. Tragedi itu lenyap begitu saja dari catatan resmi, seolah mereka hanyalah angka yang tak penting.

Setengah Abad di Tanah Jauh (1890–1939)

Meskipun tragedi itu terjadi, pengiriman terus berlangsung. Selama 1890 hingga 1939, total 32.986 orang Jawa diberangkatkan ke Suriname menggunakan 77 kapal laut. Mereka datang dari berbagai daerah di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian kecil Jawa Barat.

Di sana, mereka bekerja keras, menikah, membentuk keluarga, dan perlahan membangun komunitas baru. Anak-anak mereka mulai berbicara dua bahasa, Belanda dan Jawa. Di rumah-rumah kayu di tengah hutan, gamelan tetap berbunyi. Mereka masih menggelar selamatan, wayangan, dan kenduri, meski jauh dari tanah leluhur.

Gerakan “Mulih nJawa”: Ketika Rindu Menjadi Gerakan

Ketika kabar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia (17 Agustus 1945) sampai ke Suriname, banyak hati yang bergetar. “Negaraku sudah merdeka,” kata para tetua. “Kita harus pulang.”

Tahun 1947, gelombang besar repatriasi dimulai. Sekitar 1.700 orang Jawa di Suriname kembali ke Indonesia. Gelombang kedua menyusul pada 1954, dipimpin oleh tokoh keturunan Jawa seperti Kolonel Laut (Purn) Sarmoedjie, yang lahir di Distrik Nickerie, daerah penghasil padi terbesar di Suriname.

Bagi mereka, pulang bukan sekadar perjalanan fisik. Itu adalah pulang hati, kembali ke tanah yang hanya hidup dalam mimpi. Namun saat kapal berlabuh di Tanjung Priok, banyak yang menangis pelan: “Ini bukan Jawa yang kukenal dulu. Semuanya sudah berubah.”

Sebagian memilih tetap di Suriname, karena di sanalah rumah dan keluarga mereka kini berada. Sebagian lagi menetap di Indonesia, menanamkan kembali akar yang pernah tercabut.

Jejak yang Tak Pernah Pudar

Hari ini, keturunan Jawa di Suriname masih berjumlah puluhan ribu. Mereka berbahasa Jawa, menari gamelan, menggelar wayang kulit, dan tetap mengucap salam dalam bahasa ibu. Mereka menyebut diri Javanen Suriname, orang Jawa di tanah jauh.

Di ibu kota Paramaribo, berdiri Monumen Seratus Tahun Kedatangan Orang Jawa (1890–1990). Di bawah naungannya, setiap 9 Agustus, mereka menabur bunga dan membacakan doa dalam bahasa Jawa halus, mengenang perjalanan leluhur yang menembus lautan, meninggalkan tanah air demi harapan.

Antara Dua Dunia

Kisah para emigran Jawa bukan hanya tentang perpindahan manusia, tapi tentang daya tahan, rindu, dan identitas. Mereka pergi karena kemiskinan, bekerja karena keterpaksaan, dan pulang karena cinta pada tanah air. Sebagian tak pernah kembali, tapi warisan mereka hidup, dalam bahasa, dalam budaya, dalam ingatan.

Lautan telah memisahkan mereka dari Jawa, tapi rindu tak pernah benar-benar terpisah. Rindu itu kini hidup dalam generasi keturunan mereka, yang meski lahir di Suriname, tetap berkata dengan bangga: “Aku wong Jawa.”. (Jalu/rn+)

 

Tulisan diambil dari berbagai sumber, diintisarikan oleh kontributor Jalu -Jogyakarta

 

Redaksi menerima sumbangan tulisan, berita dan artikel yang berhubungan dengan pariwisata. Apabila memenuhi syarat, setelah melalui proses editing seperlunya akan segera ditayangkan. Materi dan photo-photo (max 5 gambar) bisa di kirimkan melalui nomor WA Redaksi +62 81320-97-9339

 

 

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *