Mengenal Sejarah dan Sistem Penanggalan Kalender Jawa

Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma (Foto Istimewa)

Bandung, rexnewsplus.com – Kalender Jawa memiliki akar sejarah yang panjang dan telah mengalami perkembangan seiring berjalannya waktu. Asal-usulnya dapat ditelusuri kembali ke masa kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia, khususnya pada zaman kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah.

Pengaruh agama Hindu-Buddha sangat kuat pada saat itu, dan kalender ini dibuat berdasarkan pengetahuan tentang gerak matahari, bulan, dan planet. Seiring dengan masuknya Islam ke Indonesia, kalender Jawa juga mengalami pengaruh dari agama Islam.

Dalam beberapa hal, sistem penanggalan Islam digabungkan dengan kalender Jawa, membentuk kalender Jawa-Islam yang masih digunakan hingga sekarang. Hasilnya, kalender ini mencerminkan harmoni dan toleransi antara agama-agama yang ada di Indonesia. Tidak semua suku/ bangsa di dunia, bahkan sangat sedikit yang memiliki kalender sendiri, Jawa termasuk di antara yang sedikit itu.

Kalender Jawa diciptakan oleh Mpu Hubayun, pada tahun 911 Sebelum Masehi, dan pada tahun 50 SM Raja/ Prabu Sri Mahapunggung I (juga dikenal sebagai Ki Ajar Padang I) melakukan perubahan terhadap huruf/ aksara, serta sastra Jawa. Bila kalender Jawa dibuat berdasarkan‘Sangkan Paraning Bawana‘ (=asal usul/ isi semesta), maka aksara Jawa dibuat berdasarkan “Sangkan Paraning Dumadi” (=asal usul kehidupan), serta mengikuti peredaran matahari (=Solar System).

Pada 21 Juni 0078 Masehi, Prabu Ajisaka mengadakan perubahan terhadap budaya Jawa, yaitu dengan memulai perhitungan dari angka nol (‘Das’=0), menyerap angka 0 dari India, sehingga pada tanggal tersebut dimulai pula kalender Jawa ‘baru’, tanggal 1 Badrawana tahun Sri Harsa, Windu Kuntara ( = tanggal 1, bulan 1, tahun 1, windu 1), hari Radite Kasih (-Minggu Kliwon), bersamaan dengan tanggal 21 Juni tahun 78 M.

Selama ini, banyak pendapat yang mengatakan, bahwa Prabu Ajisaka ialah orang India/ Hindustan. Tetapi hal tersebut nampaknya kurang tepat, dengan fakta-fakta kisah dalam huruf Jawa, bahwa :

1. Pusaka Ajisaka yang dititipkan kepada pembantunya berujud keris. Tak ditemukan bukti-bukti peninggalan keris di India, dan keris adalah asli Jawa.

2. Para pembantu setia Ajisaka sebanyak 4 (empat) orang (bukan 2 orang seperti yang banyak dikisahkan), dengan nama berasal dari bahasa Kawi, atau Jawa Kuno.

Mereka adalah :

a. DURA (dibaca sesuai tulisan), yang dalam bahasa Kawi berarti anasir alam berupa AIR. Bila dibaca sebagai Duro (seperti bunyi huruf O pada kata “Sidoarjo”), artinya = ‘bohong’, sangat jauh berbeda dengan aslinya.

b. SAMBADHA (dibaca seperti tulisan), yang dalam Bahasa Kawi berarti anasir alam yang berupa API. Bila dibaca dengan cara kini, Yaitu seperti O pada kata Sidoarjo, akan berarti “mampu” atau ‘sesuai’.

c. DUGA ( dibaca seperti tulisan), dalam bahasa Jawa Kuno berarti anasir TANAH, namun bila dibaca dengan cara kini, akan berarti “pengati-ati’ atau ‘adab’.

d. PRAYUGA (dibaca seperti tulisan), dalam Bahasa Jawa Kuno artinya adalah “ANGIN“, dan bila dibaca dengan cara sekarang akan berarti ‘sebaiknya/ seyogyanya”.

Keempat unsur/ anasir tersebut adalah yang ada di alam semesta (Jagad/ bawana Ageng) serta dalam tubuh manusia (Jagad/ bawana Alit).

3. Nama Ajisaka ( Aji & Saka) adalah berasal dari Bahasa Jawa Kuno, yang berarti Raja/ Aji yang Saka mengerti & memiliki kemampuan spiritual), Raja Pandita, Pemimpin Spiritual. Prabu Ajisaka juga bernama Prabu Sri Mahapunggung III, Ki Ajar Padang III, Prabu Jaka Sangkala, Widayaka, Sindhula. Petilasannya adalah api abadi di Mrapen, Grobogan, Purwodadi, Jawa Tengah.

Pada saat Sultan Agung Anyakrakusuma bertahta di Mataram abad XVI Masehi, terdapat 3 unsur kalender budaya dominan, yaitu Jawa/ Kabudhan (solar system), Hindu (solar system), dan Islam (Hijriah, Lunar Sytem), sementara di wilayah Barat/ Sunda Kelapa dan sekitarnya sudah mulai dikuasai bangsa asing / Belanda. Untuk memperkuat persatuan di wilayah Mataram guna melawan bangsa asing, Sultan Agung melakukan penyatuan kalender yang digunakan. Namun penyatuan kalender Jawa /Saka dan Islam/Hijriah tersebut tetap menyisakan selisih 1 (satu) hari, sehingga terdapat 2 perhitungan, yaitu istilah tahun Aboge (tahun Alip, tgl 1 Suro jatuh hari Rebo Wage), serta istilah Asapon (Tahun Alip, tg 1 Suro, hari Selasa Pon).

Perubahan ini bertepatan dengan tanggal 1 Muharram 1043 Hijriah, 29 Besar 1554 Saka, 8 Juli 1633 Masehi. Tanggal tersebut ditetapkan sebagai tanggal 1 bulan Suro tahun 1554 Jawa (Sultan Agungan), yang digunakan sekarang.

Apabila ditilik berdasarkan penanggalan Jawa yang diciptakan Mpu Hubayun pada 911 SM, maka saat ini (2020) adalah tahun 2931 (Jawa Asli, bukan Saka, Jowo kini atau Hijriah).

Meskipun kalender Gregorian telah menjadi standar resmi untuk penanggalan di Indonesia, kalender Jawa tetap hidup dan relevan dalam kehidupan masyarakat Jawa. Banyak orang Jawa yang masih menggunakan kalender ini dalam kehidupan sehari-hari mereka, terutama dalam aspek-aspek keagamaan dan kebudayaan.

Upaya pelestarian dan pemertahanan kalender Jawa terus dilakukan oleh para budayawan, sejarawan, dan pemerintah. Beberapa upaya tersebut meliputi pelatihan bagi generasi muda tentang sistem penanggalan ini, dokumentasi tradisi-tradisi yang terkait dengan kalender Jawa, dan mendukung pelaksanaan upacara-upacara adat yang melibatkan kalender ini.

Kalender Jawa merupakan salah satu warisan budaya Nusantara yang kaya dan memiliki nilai penting bagi masyarakat Indonesia. (Jalu Jogya/Razny/rn+)

Redaksi menerima sumbangan tulisan, berita dan artikel yang berhubungan dengan pariwisata. Apabila memenuhi syarat, setelah melalui proses editing seperlunya akan segera ditayangkan. Materi dan photo-photo (max 5 gambar) bisa di kirimkan melalui nomor WA Redaksi +6281320-97-9339

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *